Senin, 05 Januari 2015

SEJARAH JURNALISTIK DI DUNIA DAN INDONESIA

Awal  mulanya muncul jurnalistik dapat diketahui dari berbagai literatur tentang sejarah jurnalistik senantiasa merujuk pada “Acta Diurna” pada zaman Romawi Kuno masa pemerintahan kaisar Julius Caesar (100-44 SM). “Acta Diurna”, yakni papan pengumuman (sejenis majalah dinding atau papan informasi sekarang), diyakini sebagai produk jurnalistik pertama; pers, media massa, atau surat kabar harian pertama di dunia. Julius Caesar pun disebut sebagai “Bapak Pers Dunia”.

Sebenarnya, Caesar hanya meneruskan dan mengembangkan tradisi yang muncul pada permulaan berdirinya kerajaan Romawi. Saat itu, atas peritah Raja Imam Agung, segala kejadian penting dicatat pada “Annals”, yakni papan tulis yang digantungkan di serambi rumah. Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap orang yang lewat dan memerlukannya.
Saat berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para anggota senat setiap hari diumumkan pada “Acta Diurna”. Demikian pula berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya. Papan pengumuman itu ditempelkan atau dipasang di pusat kota yang disebut “Forum Romanum” (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum.
Berita di “Acta Diurna” kemudian disebarluaskan. Saat itulah muncul para “Diurnarii”, yakni orang-orang yang bekerja membuat catatan-catatan tentang hasil rapat senat dari papan “Acta Diurna” itu setiap hari, untuk para tuan tanah dan para hartawan.
Dari kata “Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata “Diurnal” dalam Bahasa Latin berarti “harian” atau “setiap hari.” Diadopsi ke dalam bahasa Prancis menjadi “Du Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang berarti “hari”, “catatan harian”, atau “laporan”. Dari kata “Diurnarii” muncul kata “Diurnalis” dan “Journalist” (wartawan).
Dalam sejarah Islam, seperti dikutip Kustadi Suhandang (2004), cikal bakal jurnalistik yang pertama kali di dunia adalah pada zaman Nabi Nuh. Saat banjir besar melanda kaumnya, Nabi Nuh berada di dalam kapal beserta sanak keluarga, para pengikut yang saleh, dan segala macam hewan.
Untuk mengetahui apakah air bah sudah surut, Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk memantau keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Sang burung dara hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun dipatuk dan dibawanya pulang ke kapal. Nabi Nuh pun berkesimpulan air bah sudah mulai surut. Kabar itu pun disampaikan kepada seluruh penumpang kapal.
Atas dasar fakta tersebut, Nabi Nuh dianggap sebagai pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) pertama kali di dunia. Kapal Nabi Nuh pun disebut sebagai kantor berita pertama di dunia.
MASA PERKEMBANGANNYA
Kegiatan penyebaran informasi melalui tulis-menulis makin meluas pada masa peradaban Mesir, ketika masyarakatnya menemukan tehnik pembuatan kertas dari serat tumbuhan yang bernama “Phapyrus”.
Pada abad 8 M., tepatnya tahun 911 M, di Cina muncul surat kabar cetak pertama dengan nama “King Pau” atau Tching-pao, artinya “Kabar dari Istana”. Tahun 1351 M, Kaisar Quang Soo mengedarkan surat kabar itu secara teratur seminggu sekali.
Penyebaran informasi tertulis maju sangat pesat sejak mesin cetak ditemukan oleh Johan Guttenberg pada 1450. Koran cetakan yang berbentuk seperti sekarang ini muncul pertama kalinya pada 1457 di Nurenberg, Jerman. Salah satu peristiwa besar yang pertama kali diberitakan secara luas di suratkabar adalah pengumuman hasil ekspedisi Christoper Columbus ke Benua Amerika pada 1493.
Pelopor surat kabar sebagai media berita pertama yang bernama “Gazetta” lahir di Venesia, Italia, tahun 1536 M. Saat itu Republik Venesia sedang perang melawan Sultan Sulaiman. Pada awalnya surat kabar ini ditulis tangan dan para pedagang penukar uang di Rialto menulisnya dan menjualnya dengan murah, tapi kemudian surat kabar ini dicetak.
Surat kabar cetak yang pertama kali terbit teratur setiap hari adalah Oxford Gazzete di Inggris tahun 1665 M. Surat kabar ini kemudian berganti nama menjadi London Gazzette dan ketika Henry Muddiman menjadi editornya untuk pertama sekali dia telah menggunakan istilah “Newspaper”.
Di Amerika Serikat ilmu persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M dengan istilah “Journalism”. Saat itu terbit surat kabar dalam bentuk yang modern, Publick Occurences Both Foreign and Domestick, di Boston yang dimotori oleh Benjamin Harris.
Pada Abad ke-17, di Inggris kaum bangsawan umumnya memiliki penulis-penulis yang membuat berita untuk kepentingan sang bangsawan. Para penulis itu membutuhkan suplai berita. Organisasi pemasok berita (sindikat wartawan atau penulis) bermunculan bersama maraknya jumlah koran yang diterbitkan. Pada saat yang sama koran-koran eksperimental, yang bukan berasal dari kaum bangsawan, mulai pula diterbitkan pada Abad ke-17 itu, terutama di Prancis.
Pada abad ke-17 pula, John Milton memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat di Inggris yang terkenal dengan Areopagitica, A Defence of Unlicenced Printing. Sejak saat itu jurnalistik bukan saja menyiarkan berita (to inform), tetapi juga mempengaruhi pemerintah dan masyarakat (to influence).
Di Universitas Bazel, Swiss jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara akademis oleh Karl Bucher (1847 – 1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama Zeitungskunde tahun 1884 M. Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of Journalism di Columbia University pada tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya bernama Joseph Pulitzer (1847 – 1911).
Pada Abad ke-18, jurnalisme lebih merupakan bisnis dan alat politik ketimbang sebuah profesi. Komentar-komentar tentang politik, misalnya, sudah bermunculan pada masa ini. Demikian pula ketrampilan desain/perwajahan mulai berkembang dengan kian majunya teknik percetakan.
Pada abad ini juga perkembangan jurnalisme mulai diwarnai perjuangan panjang kebebasan pers antara wartawan dan penguasa. Pers Amerika dan Eropa berhasil menyingkirkan batu-batu sandungan sensorsip pada akhir Abad ke-18 dan memasuki era jurnalisme modern seperti yang kita kenal sekarang.
Perceraian antara jurnalisme dan politik terjadi pada sekitar 1825-an, sehingga wajah jurnalisme sendiri menjadi lebih jelas: independen dan berwibawa. Sejumlah jurnalis yang muncul pada abad itu bahkan lebih berpengaruh ketimbang tokoh-tokoh politik atau pemerintahan. Jadilah jurnalisme sebagai bentuk profesi yang mandiri dan cabang bisnis baru.
Pada pertengahan 1800-an mulai berkembang organisasi kantor berita yang berfungsi mengumpulkan berbagai berita dan tulisan untuk didistribusikan ke berbagai penerbit surat kabar dan majalah. Kantor berita pelopor yang masih beroperasi hingga kini antara lain Associated Press (AS), Reuters (Inggris), dan Agence-France Presse (Prancis).
Tahun 1800-an juga ditandai dengan munculnya istilah Yellow Journalism (jurnalisme kuning), sebuah istilah untuk “pertempuran headline” antara dua koran besar di Kota New York. Satu dimiliki oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi dimiliki oleh William Randolph Hearst.
Ciri khas “jurnalisme kuning” adalah pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan pemuatan judul utama yang menarik perhatian publik. Tujuannya hanya satu: meningkatkan penjualan! Namun, jurnalisme kuning tidak bertahan lama, seiring dengan munculnya kesadaran jurnalisme sebagai profesi.
Sebagai catatan, surat kabar generasi pertama di AS awalnya memang partisan, serta dengan mudah menyerang politisi dan presiden, tanpa pemberitaan yang objektif dan berimbang. Namun, para wartawannya kemudian memiliki kesadaran bahwa berita yang mereka tulis untuk publik haruslah memiliki pertanggungjawaban sosial.
Kesadaran akan jurnalisme yang profesional mendorong para wartawan untuk membentuk organisasi profesi mereka sendiri. Organisasi profesi wartawan pertama kali didirikan di Inggris pada 1883, yang diikuti oleh wartawan di negara-negara lain pada masa berikutnya. Kursus-kursus jurnalisme pun mulai banyak diselenggarakan di berbagai universitas, yang kemudian melahirkan konsep-konsep seperti pemberitaan yang tidak bias dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagai standar kualitas bagi jurnalisme profesional.

SEJARAH PENEMUAN KERTAS

Sejak awal manusia diciptakan Tuhan dimuka bumi ini, manusia selalu berusaha untuk berkomunikasi dengan satu sama lainnya.
Pada jaman primitif manusia telah menggunakan batu, tulang dan dedaunan untuk menyampaikan pesan tertulis . Tetapi semua media tersebut sulit untuk disimpan dan diangkut.




Lalu pada sekitar 2.200SM, orang Mesir kuno menemukan sejenis buluh yang disebut papyrus (lontar) yang ternyata dapat dipergunakan untuk media tulis yang lebih stabil dan dapat diandalkan.

Meskipun penggunaan papyrus menyebar jauh di luar Mesir, kulit binatang juga masih banyak digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan tertulis. Kulit sapi, kambing dan domba dicuci dan direntangkan pada bingkai dan dilapisi dengan kapur berbentuk pasta yang membantu menghilangkan lemak dan bulu. Sesudah kering, permukaan dihaluskan dengan menggosok memakai batu. Bahan yang sudah siap disebut perkamen dan digunakan secara luas diseluruh Eropa sejak 170 SM. Perkamen yang berkualitas tinggi sangat langka sehingga harus diperlakukan secara halus dan sering digunakan lebih dari sekali.




Media tulis awal ini memainkan peranan yang sangat penting dalam perkembangan kebudayaan manusia tetapi memang kurang praktis. Hal ini berubah sejak Tsai Lun pada th 250 SM memulai percobaannya dan memperkenalkan kertas ke dunia.

Pada abad kedua, pembuat kertas di Cina menaruh potongan-potongan kulit kayu bagian dalam dari pohon Mulberry pada suatu tempat yang kuat, sering juga berupa batu yang berlubang dan dicampur dengan air. Dengan menggunakan palu atau alat pemukul lain, potongan kayu tersebut ditumbuk sehingga menjadi bubur berserat yang dalam istilah sekarang disebut sebagai 'pulp'. Pulp tersebut kemudian dituangkan kedalam cetakan yang dangkal yang sebelumnya dilapisi dengan kain berbentuk seperti saringan. Kemudian cetakan ini dijemur di bawah sinar matahari dan ketika air telah menguap, maka hanya serat selulose yang tinggal dalam cetakan. Selanjutnya kertas diangkat dari cetakan tersebut. Ini adalah bentuk yang primitif dari kertas.

Pada abad ke 13, teknologi pembuatan kertas telah merambah Spanyol, tetapi masih membutuhkan 300 tahun lagi baru teknologi tersebut menyebar ke Perancis, Jerman, Itali dan Inggris dimana tercatat pabrik kertas Inggris yang pertama kali diketahui dibangun di Hertfordshire pada th 1490. Di negara-negara Eropa, saringan kawat yang halus menggantikan fungsi kain saringan dan serat linen menggantikan kulit kayu mulberry yang sangat sulit diperoleh di daratan Eropa.

Masalah yang dihadapi dalam pembuatan kertas secara manual ialah produktifitasnya yang sangat rendah dan memakan waktu yang lama. Pada abad pertengahan, semua buku dicopy dengan tangan, kebanyakan dilakukan di atas perkamen dan dilakukan oleh pemuka agama yang mempunyai kemampuan baca tulis di atas rakyat biasa. Mesin cetak yang diciptakan pada abad ke 15 membawa perubahan yang amat besar di bidang komunikasi. Untuk pertama kalinya, buku dapat diproduksi secara massal. Untuk itu dibutuhkan kertas murah dalam jumlah yang banyak menggantikan perkamen yang mahal.

Untuk memenuhi permintaan yang meningkat ini, pembuat kertas dituntut untuk mempercepat dan meningkatkan produksi, tetapi tidak terlihat adanya terobosan yang nyata sampai datangnya abad 17. Yaitu ketika Nicholas Luis Robert, dari Essones, Perancis mematenkan sebuah mesin yang menggunakan belt kawat mesh yang bergerak menggantikan fungsi cetakan kertas sehingga dapat dihasilkan kertas secara kontinyu dan dalam jumlah besar. Mesin yang dibangun oleh Robert kemudian dibawa ke Inggris dan dipatenkan di sana pada th 1801 oleh Henry Fourdrinier, yang namanya dipakai sampai sekarang.


Mesin cetak adalah sebuah alat yang digunakan untuk menggandakan tiruan dokomen menggunakan huruf cetak yang bergerak. Mesin cetak pertama kali ditemukan oleh Johannes Guttenberg (Mainz, Jerman).

Beberapa menyebutkan bahwa mesin cetak adalah penemuan terbesar sepanjang 2.000 tahun terakhir. Mesin cetak dapat mencetak tiruan dokumen lebih banyak hanya dalam beberapa minggu ketimbang yang tadinya diproduksi dengan tangan seumur hidup. Mesin cetak membuat masyarakat melek huruf dan memungkinkan adanya pendidikan.

Revolusi ilmu pengetahuan bergantung kepada adanya banyak ilmuwan yang merekam dan menyebarkan penemuan mereka. Mesin cetak memungkinkan para ilmuwan dan fisikawan untuk membaca dokumen penemuan dari para penemu sebelumnya. Mesin cetak telah melakukan perubahan yang signifikan dan fundamental dalam struktur, pemikiran, dan aktivitas keseharian masyarakat.

SEJARAH PENEMUAN MESIN CETAK

Menyalin dokumen selalu menjadi pekerjaan tangan (biasanya dikerjakan oleh para pendeta). Buku-buku diproduksi dengan sulit dan perlahan serta harganya juga yang terlalu mahal. Lebih buruknya lagi, salinan yang dibuat oleh tangan mudah melakukan kesalahan. Setiap salinan baru bisa dipastikan adanya kesalahan.

Jawaban dari masalah tersebut adalah cetakan. Cetakan dimulai di negri the great wall China. Pada tahun 1040, Pi Sheng menemukan cetakan dengan menggunakan huruf-huruf cetak aslinya terbuat dari semacam tanah. Pi Sheng adalah penemu sebenarnya dari huruf cetak yang bisa bergerak. Lebih mengesankanya lagi, Barat hanya mampu membuat cetakan yang mencetak dengan 26 huruf, sementara Pi Sheng telah membuat lebih dari 5.000 huruf China untuk cetakanya dari tanah.



Pada tahun 1403, King Htai Tjong dari Korea menemukan huruf cetak logam (lebih kokoh dan lebih efisien daripada cetakan dari tanah karya Pi Sheng). Tapi dia belum mengembangkan sistem cetak menggunakan huruf cetakanya tersebut.

Bagaimana Mesin Cetak Ditemukan?

Belum jelas bagaimana Johannes Guttenberg menemukan dan bagaimana dia merakit dari yang lain yang sudah ada. Sejarawan percaya bahwa dia yang mengembangkan mesin cetak di dunia dan percaya bahwa dia telah menemukan sebuah teknologi baru.

Guttenber lahir di kota yang indah, Mainz, Jerman. Sekitar tahun 1440, mendekati usianya yang ke-50, dia mulai mengembangkan idenya tentang mesin cetak. Dia menghabiskan waktu sampai satu dekade ke depan untuk pemecahan tiga kebutuhan mendasar dari mesin cetak.
  • Pertama, dia butuh alat penekan. Guttenberg membuat model alat penekan dari alat penekan berat yang biasa digunakan untuk memeras buah zaitun. Dia memodifikasi dan memperkuat kembali penekan sehingga dia dapat menekan ke bawh mendatar melewati keseluruhan halaman dengan mudah. 
  • Kedua, dia membutuhkan tinta. Para pendeta dan pelukis biasa menggunakan tinta air. Guttenberg berkonsultasi dengan pelukasi terkenal (termasuk Van Dyke) dan memutuskan menggunakan tinta berminyak yang biasa dipakai para pelukis dan warna pigmen baru yang telah diujicobakan para pelukis. Dengan tinta baru ini, Guttenberg mendapatkan garis-garis lebih tajam dan cetakan lebih tebal daripada tinta air.
  • Terakhir, Guttenberg membutuhkan logam cetakan yang bergerak. Cetakan logam Guttenberg adalah sumbangan terbesar dalam dunia percetakan. Dia menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk melakukan percobaan dengan berbagai jenis logam, mencari logam yang mempunyai titik lebih rendah sehingga mampu mencetak huruf-huruf dengan mudah. Akan tetapi, logam ini juga harus kuat untuk bisa menahan tekanan dan menghasilkan ribuan cetakan. Pada tahun 1450, dia telah mantap memilih campuran timah denga perak dengan sedikit antimoni.
Sekitar tahun 1452, mesin cetak Guttenberg sudah siap bekerja. Dia meminjam 800 Gulden untuk membeli kertas, tinta pigem, minyak, timah, perak, antimoni, dan kebutuhan yang lain. Dia memulai mencetak buku pertamanya yang berjudul The Great 42 Line Bibel Guttenberg (42 merujuk pada nomor dari garis pada teks setiap halaman). Ketika halaman pertama telah siap dan diuji cetak untuk memastikan bahwa semua huruf-hurufnya telah genap dan tinta pada kekentalan yang benar, maka dia mulai mencetak 300 salinan halaman tersebut.

Halaman pertama selesai. Guttenberg kemudian membongkar 3.000 sampai 4.000 huruf dari halaman tersebut. Dia membersihkan dan membuang huruf-huruf yang tidak sesuai ke dalam peti. Sekarang dia telah siap kerja mencetak halaman kedua. Proses ini diulangi 1.282 kali dan memakan tidak tahun untuk mencetak tiap halaman dari 300 salinan pada Bibelnya. Salinan ini jika dikerjakan manual dengan tangan akan selesai selama 1.200 tahun, waktu yang sangat lama bukan.

Apa yang Terjadi Kemudian?

Bibel guttenberg tak hanya buku pertama yang dicetak di Eropa dengan logam cetakan bergerak. Ini adalah cetakan yang bagus sekali, sebaik yang diproduksi sekarang ini. Proses Guttenberg bertahan, tidak tergantikan, dan tidak diperbaharui selama tiga setengah abad. Ini adalah kesaksian dari kualitas kerja dari seorang Johannes Guttenberg.

Sebelum Guttenberg menyelesaikan mencetak bibelnya, dia harus kehilangan tokonya dan seluruh peralatanya untuk membayar hutan kepada Johannes Fust, sebab Guttenberg belum bisa membayar hutang 2.000 gulden. Guttenberg meninggal pada tahun 1467. Dia seseorang yang miskin, dilupakan, dan diabaikan oleh masyarakatnya. Penemuan Guttenberg mengubah dunia yang harus akan informasi dan bacaan. 45 tahun kemudian, lebih dari 500 penerbit menggunakan mesin cetak Guttenberg dan mencetak lebih dari 1 miliar buku.

Sekarang mesin cetak tangan digantikan oleh komputer dan teknologi fotocopy. Penemuan teknologi Guttenberg kini hanyalah kenangan luar biasa yang terpendam.

  • Fakta Penemuan

Bibel Guttenberg yang asli masih sangat bernilai dan merupakan buku yang ternilai di dunia. Bau-baru ini salinanya yang masih bertahan terjual seharga 2 juta dollas US$.


SEJARAH  TERBITNYA KORAN TAHUN 1609

Surat kabar yang terbit secara teratur pertama kali muncul di Jerman pada tahun 1609 bernama Aviso di Wolfenbuttel dan Relation di Strasbourg.  Setelah itu bermunculan surat-surat kabar di berbagai negara semisal Belanda, Perancis, Inggris, dan Italia. Sedangkan surat kabar yang menjadi pelopor terbit secara harian adalah Einkommende Zeitung di Lepizig, Jerman.


Persuratkabaran di tanah air sendiri mengalami perkembangan yang cukup dinamis. Sejarah pers di Indonesia dikategorikan dalam dua periode. Periode pertama dimulai sejak kemunculan Surat Kabar hingga tahun 1854. Sedangkan babak kedua dari tahun 1854 hingga tahun 1902 tepatnya pada  Hari Kebangkitan Nasional.
Pada periode pertama yang dimulai sejak tahun 1744 disebut dengan Babak Putih. Sebutan ini muncul karena saat itu surat kabar hanya dimiliki oleh kaum kulit putih penjajah dan tidak ada tempat untuk pribumi karena berbahasa Belanda, pembaca orang Belanda, dan mengenai kehidupan orang Eropa.
Pers zaman penjajahan Belanda yang sangat terbatas dan hanya menjadi penegas hegemoni kolonialisme penjajahan Belanda atas Indonesia. Suatu media massa, yang dapat membuka  kemungkinan untuk mengeluarkan pendapat umum terhadap kebijaksanaan pemerintah, dalam hal ini pemerintahan Hindia Belanda, tidak mendapatkan izin untuk terbit.
Pada era ini surat kabar pertama yang terbit ialah Bataviasche Novelles pada tahun 1744. Namun, surat kabar ini hanya bertahan selama dua tahun. Setelah itu bermunculan surat-surat kabar lain yang pro pemerintah seperti Het Vendu Nieuws,Bataviasche Kolonial Courant, dan Javasche Courant.
Periode kedua ditandai dengan adanya peraturan kelonggaran pada kegiatan pers. Sejak saat itu bermunculan surat kabar berbahasa Melayu dan Tionghoa yang bermunculan mematahkan dominasi surat kabar dari Eropa. Kemunculan itu diikuti dengan munculnya wartawan yang beretnis tionghoa dan peranakannya.
Pada periode kedua ini dapat dibagi dalam tiga babak secara umumnya.
1.     Antara tahun 1854-1860 mulai bermunculan surat kabar berbahasa melayu ditengah-tengah hegemoni surat kabar berbahasa Belanda.
2.     Antara tahun 1860-1880 sudah banyak pers berbahasa melayu dan pra Indonesia yang bermunculan dan mulai memenuhi pasar. Namun, pelopor atau pemimpin pers berbahasa melayu ini ialah peranakan Eropa.
3.      Antara tahun 1881 sampai kebangkitan nasional merupakan periode dimana seluruh kegiatan pers sudah didominasi oleh pers melayu. Pekerja pers, terutama para redakturnya tidak lagi peranakan Eropa, tetapi mulai banyak Pekerja pers, terutama para redakturnya tidak lagi peranakan Eropa, tetapi mulai banyak orang peranakan Tionghoa dan Indonesia(pribumi).
Pada periode ini surat-surat kabar Melayu maupun Tionghoa bertentangan dengan surat kabar Eropa. Pada umunya pers Eropa membela kepentingan kolonial dan memandang rendah golongan Tionghoa apalagi pribumi. Sedangakan surat kabar seperti Li Po (1901), Pewarta Soerabaja (1902), dan Perniagaan (1903) lebih memperlihatkan nasionalisme Tionghoa dan membela kepentingan Tionghoa.
Menurut E.F.E Douwes Dekker pers periode ini memiliki ciri-ciri lingkungan pembacanya yang menjadi sasaran. Pertama, surat kabar yang berisi berita yang hanya diperuntukkan kalangan keturunan Tionghoa. Surat kabar jenis seperti ini banyak terbit di kota-kota Jakarta, Surabaya, dan beberapa kali terbit di Semarang.
Lalu yang kedua adalah surat kabar yang dibiayai dan dikerjakan oleh orang-orang tionghoa, namun pembacanya kalangan pribumi. Ketiga, adalah surat kabar yang dibaca oleh kedua golongan seperti Bintang Soerabaya (1861) yang juga merupakan koran tertua.
Pada zaman Hindia Belanda terdapat peraturan pers yang dimunculkan pada 1856 yaitu Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie yang kemudian diperbaiki pada tahun 1906. Perbaikan yang dilakukan merubah sifat preventif menjadi pengawasan represif. Perubahan ini dikarenakan tekanan dari unsur demokratis yang merasa repot dengan sifat peraturan yang lama.
Lalu pada tahun 1931 pemerintah kolonial Belanda melahirkan apa yang selanjutnya disebut Persbreidel Ordonantie yang menerangkan bahwa Gubernur Jenderal diberi hak untuk melarang terbit penerbitan tertentu yang dinilainya bisa “mengganggu ketertiban umum.” 
Lalu dikeluarkan pula Haatzaai Artikelen yang berisi ancaman hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap pemerintahan Nederland atau Hindia Belanda serta kelompok penduduk di Hindia Belanda. Haatzaai Artikelen ada lebih dulu dari Persbreidel Ordonantie dan bersamaan sengan berlakunya Wetboek van Strafecht van Nedherlands-Indie.
Setelah masa Hindia Belanda berakhir Tanah Air yang dikuasai oleh Jepang. Selama masa pendudukan militer Jepang semua pers dibawah pengawasan pemerintah Jepang dan digunakan untuk propaganda perang antara Jepang melawan sekutu
Menurut Koichi Kishi ada lima surat kabar berbahasa Jepang, yaitu Jawa Shinbun di Jawa, Borneo Shinbun di Kalimantan, Sumatra Shinbun di Sumatra, dan Ceram Shinbun di Seram. Selain itu ada delapan surat kabar yang berbahasa Indonesia. Asia Raya(1942-1945) dan  Pembangoen di Jakarta. Lalu Tjahaja (1942-1945) di Bandung, Yogyakarta juga mempunyai surat kabar Sinar Matahari (1942-1945), Sinar Baroe (1942-1945) di Semarang, dan Surabaya memiliki Pewarta Perniagaan(1942-1945). Selama penajajahan Jepang larangan penggunaan bahasa Belanda memberikan keuntungan berupa meratanya penggunaan Bahasa Indonesia ke seluruh pelosok. Pemerintah Jepang memunculkan peraturan pers bahwa semua jenis barang cetakan harus memiliki izin publikasi atau izin terbit. Selain itu semua penerbitan yang memusuhi Jepang dilarang untuk meneruskan penerbitannya. Banyak pihak terkena imbas dengan diterapkannya peraturan ini. Semua surat kabar Belanda, surat kabar Indonesia yang anti Jepang, dan surat kabar yang membahas agresi Jepang ke Tiongkok dilarang untuk melanjutkan produksi.
Selain itu adapula peraturan  mengenai sensor preventif, bahwa semua barang cetakan, sebelum diedarkan, harus melewati sensor Balatentara Jepang. Selain itu tidak diperbolehkan semua produk dikirim ke luar wilayah penjajahan Jepang dan begitu pula sebaliknya.
Indonesia pun mengikuti cara Jepang dalam memfungsikan surat kabar. Edi Soeradi mempropaganda masyarakat agar datang pada Rapat Raksasa Ikada untuk mendengarkan pidato Bung Karno pada 19 September 1945.Dalam perjalanannya, Berita Indonesia (BI) berulang kali mengalami pembredelan dimana selama pembredelan tersebut para pegawai kemudian ditampung oleh surat kabar Merdeka yang didirikan oleh B.M. Diah. Surat kabar perjuangan lainnya adalah Harian Rakyat dengan pemimpin redaksi Samsudin Sutan Makmr dan Rinto Alwi dimana surat kabar tersebut menampilkan “pojok” dan “Bang Golok” sebagai artikel. Surat kabar lainnya yan terbit pada masa ini adalah Soeara Indonesia, Pedoman Harian yang berubah menjadi Soeara Merdeka (Bandung), Kedaulatan Rakyat (Bukittinggi), Demokrasi (Padang) dan Oetoesan Soematra (Padang).
Setelah Indonesia merdeka muncul era baru lagi dalam persurat kabaran di Indonesia. Langkah pertama yang dilakukan pemerintah ialah menghapuskan asas Presbrediel Ordonantie karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 tepatnya pasal 33 yang menjamin kebebasan berpendapat seseorang.Setelah itu Kepala Staff Angkatan Darat pada tanggal 14 September 1956 mengeluarkan peraturan. Peraturan tersebut menegaskan larangan untuk mencetak, menerbitkan, dan menyebarkan porduk jurnalistik yang mengandung kecaman, prasangka, atau penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dan suatu kekuasaan. Selain itu dilarang pula untuk membuat tulisan atau pemberitaan yang dapat membuat keonaran dan kekacauan pada masyarakat. Ketentuan tersebut sangat mirip dengan isi Haatzaai Artikelen. Maka ketentuan  ini mendapatkan protes keras dari surat-surat kabar dan PWI mulai dari Pusat hingga ke Cabang. PWI cabang Besuki bahkan mengajak untuk mem-black out semua pemberitaan ketentaraan apabila peraturan ini tidak dicabut.Setelah dikeluarkannya dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959 oleh presiden Soekarno, terdapat larangan terhadap kegiatan politik termasuk pers. Persyaratan untuk mendapat Surat Izin Terbit dan Surat Izin Cetak diperketat.
Situasi ini kemudian dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia untuk melakukan slowdown atau mogok secara halus oleh para buruh dan pegawai surat kabar. Karyawan pada bagian setting melambatkan pekerjaannya yang membuat banyak kolom surat kabar tidak terisi menjelang batas waktu cetak (deadline). Pada akhirnya kolom tersebut diisi iklan gratis. Hal ini menimpa surat kabar Soerabaja Post dan Harian Pedoman di Jakarta. Pada periode ini banyak terjadi kasus antara surat kabar pro PKI dan anti PKI.
Pada awal masa kepemimpinan pemerintahan Orde Baru. Pemerintah mengumandangkan bahwa akan membuang jauh-jauh praktik demokrasi terpimpin dan mengganti demokrasi Pancasila. Pernyataan ini membuat semua tokoh bangsa Indonesia menyambut dengan antusias sehingga lahirlah istilah pers Pancasila.Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers pancasila. Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkab lakunya didasarkan nilai-nilai pancasila dan UUD’45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
Masa “bulan madu” antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin terbit.
Kemesraan ini hanya berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak terjadinya “Peristiwa Malari” (Peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti zaman Orde Lama).
Pada periode Orde Baru, surat kabar yang dipaksa untuk berafiliasi kembali mendapatkan pribadi awalnya, seperti Kedaulatan Rakyat yang pada zaman orde lama harus berganti menjadi Dwikora. Hal ini juga terjadi pada Pikiran Rakyat di Bandung. Bahkan pers kampuspun mulai aktif kembali. Namun dibalik itu semua, pengawasan dan pengekangan pada pers terutama dalam hal konten tetap diberlakukan.
Pemberitaan yang dianggap merugikan pemerintah harus dibredel dan dihukum dengan dilakukan pencabutan SIUP seperti yang terjadi pada Sinar Harapan, tabloid Monitor dan Detik serta majalah Tempo dan Editor. Pers lagi-lagi dibayangi dalam kekuasaan pemerintah yang cenderung memborgol kebebasan pers dalam membuat berita serta menghilangkan fungsi pers sebagai kontrol sosial terhadap kinerja pemerintah. Pembredalanpun marak pada periode ini.
Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit.
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru. Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.
Pada masa reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
a.      Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
b.     Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
c.      Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.
d.     Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
e.      Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai mnejadi saksi di pengadilan.
Berbagai peristiwa dan dinamika dalam persuratkabaran Indonesia yang di setiap periode mengalami perubahan peraturan dan kebijakan. Pemerintah yang berkuasa saat itu sangat memegang bagaimana kelayakan sebuah pemberitaan ditentukan.
Pembredelan berita kerap kali terjadi bahkan hingga penutupan sebuah surat kabar kerap terjadi dari zaman Kolonial Belanda hingga Orde Baru. Ketika masa reformasi pecah, angin kebebasan mulai berpihak pada kesempatan untuk berbicara dan berekspresi lebih banyak.
Banyak perusahaan media massa bermunculan di setiap daerah. Khususnya media cetak atau koran yang memperjuangkan ideologi masing-masing perusahaan. Tidak ada lagi peraturan-peraturan pemerintah yang mempengaruhi ideologi dan hasil sebuah berita.
Ada beberapa surat kabar yang muncul khususnya di Kota Solo seperti Solopos, Joglosemar dan harian lainnya yang turut andil memberitakan isu-isu yang hangat di Kota Solo. Di era reformasi ini pemberitaan yang ada tidak lagi terkekang dengan kepentingan politik dan kepentingan pemerintah.

SEJARAH JURNALISTIK INDONESIA
Perkembangan sejarah Jurnalistik di Indonesia telah dimulai sejak  zaman pemerintahan belanda.pada zaman pemerintahan belanda,dibentuk persatuan jurnalistik yang dikenal dengan nama Pers Kolonial,organisasi ini di bentuk oleh para colonial dan terus berkembang hingga abad ke 20.pada masa itu terbitlah surat-surat kabar yang ditulis guna membela kaum kolonialis.salah satu surat kabar yang beredar saat itu yakni Bataviasche nouvellesd.disamping itu  orang-orang keturunan thionghoa juga  menggunakan surat kabar sebagai alat pemersatu keturunan thionghoa yang berada di Indonesia.surat-surat kabar yang terbit pada era kolonial  ini menggunakan   bahasa Belanda,Cina dan Jawa.

Di zaman pergerakan surat-surat kabar juga diterbitkan sebagai alat perjuangan seperti.perkembangan di dunia jurnalistik saat itu menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa.harian  yang terbit pada zaman itu antara lain harian Sedio Tomo yang adalah kelanjutan dari Budi Oetomo di yogjakarta tahun 1920,harian Darmo Kondo di solo,harian utusan india yang terbit di Surabaya dan masih banyak lagi.

Beralih ke masa penjajahan Jepang,pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis namun pada masa ini,surat izin penerbitan mulai diberlakukan.surat-surat kabar yang diterbitkan dalam bahasa  Belanda banyak yang dimusnahkan.penerbitan surat-surat kabar pun mulai ketat dibawa pengawasan Jepang.surat-surat kabar yang terbit pada masa ini antara lain  Asia raya(Jakarta),Sinar Baru(Semarang),Suara Asia(Surabaya),Tjahaya(Bandung).

Walaupun pengawasan jepang yang begitu ketat dan mengekang namun ada pelajaran-pelajaran berharga untuk dunia jurnalistik Indonesia.pengalaman karyawan-karyawan pers di Indonesia bertambah,Rakyat semakin  kritis dalam menanggapi informasi-informasi yang beredar,meluasnya penggunaan bahasa Indonesia.
Namun di era Revolusi(1945-1949) situasipun berubah, perang perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dilakukan untuk menentang Belanda masuk lagi ke Indonesia.hal ini berpengaruh pada perkembangan  Jurnalistik Indonesia.pers dibagi kedalam 2 kelompok yakni pers Nica(Belanda) dan pers Republik (Indonesia)

Pada masa orde lama,kebebasan pers mengalami penekanan karena berkaitan vdengan keputusan yang tercantum pada UUD 1945 yang menjamin kebebasan berpikir,menyatakan pendapat dan memperoleh penghasilan.hal ini diawalai dengan adanya penegasan dari muda malady yang menyartakan bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat-surat kabar,mmajalah-majalah dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitakan pers nasional”.
Pada era demokrasi pancasila Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers pancasila. Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkab lakunya didasarkan nilai-nilai pancasila dan UUD’45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.

Pers dimata negara memiliki peranan sebagai pendorong kesatuan nasional dan pembangunan sambil menrapkan system perijinan. Pemerintah juga tidak menjamin dengn tegas kebebasan pers di Indoensia, hal ini terbukti dengan kontrol ketat pemerintah dengan mendirikan dewan pers dan PWI

Dalam pemerintahan Orde Baru  ada tiga macam cara yang digunakan wartawan untuk menghindari peringatan dan atau pembredeilan dari pemrintah, yakni eufimisme, jurnalisme rekaman dan jurnalisme amplop.

Teknik eufeumisme adalah teknik mengungkapkan fakta secara tersirat bukan tersurat. Fakta dalam sebuah berita berbahaya oleh karena itu ditup oleh pers dengan menggunakan ungkapan yang sopan.

Jurnalisme rekaman adalah budaya wartawan untuk menyalin berita-berita setepat-tepatnya dari sumber berita tanpa mengolahnya sehingga membuat sebagian besar karyawan per mals.

Jurnalisme amplop adalah budaya pemberian amplop bagi wartawan oleh sumber berita. Meskipun pemberian ini dikecam dan berusah dihindari namun pada prakteknya tetap saja terjadi.

Source: 

http://homework-uin.blogspot.com/2009/12/sejarah-jurnalistik.html

Difha Renytha Usman
3SA05 - 12612093




Tidak ada komentar:

Posting Komentar