Sebenarnya, Caesar hanya meneruskan
dan mengembangkan tradisi yang muncul pada permulaan berdirinya kerajaan
Romawi. Saat itu, atas peritah Raja Imam Agung, segala kejadian penting dicatat
pada “Annals”, yakni papan tulis yang digantungkan di serambi rumah. Catatan
pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap orang yang lewat dan
memerlukannya.
Saat berkuasa, Julius Caesar
memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para anggota senat setiap hari
diumumkan pada “Acta Diurna”. Demikian pula berita tentang kejadian
sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan
diketahui rakyatnya. Papan pengumuman itu ditempelkan atau dipasang di pusat
kota yang disebut “Forum Romanum” (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum.
Berita di “Acta Diurna” kemudian
disebarluaskan. Saat itulah muncul para “Diurnarii”, yakni orang-orang yang
bekerja membuat catatan-catatan tentang hasil rapat senat dari papan “Acta
Diurna” itu setiap hari, untuk para tuan tanah dan para hartawan.
Dari kata “Acta Diurna” inilah
secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata “Diurnal” dalam Bahasa Latin
berarti “harian” atau “setiap hari.” Diadopsi ke dalam bahasa Prancis menjadi
“Du Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang berarti “hari”, “catatan harian”,
atau “laporan”. Dari kata “Diurnarii” muncul kata “Diurnalis” dan “Journalist”
(wartawan).
Dalam sejarah Islam, seperti dikutip
Kustadi Suhandang (2004), cikal bakal jurnalistik yang pertama kali di dunia
adalah pada zaman Nabi Nuh. Saat banjir besar melanda kaumnya, Nabi Nuh berada
di dalam kapal beserta sanak keluarga, para pengikut yang saleh, dan segala
macam hewan.
Untuk mengetahui apakah air bah
sudah surut, Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk memantau
keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Sang burung dara hanya melihat daun
dan ranting pohon zaitun yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun
dipatuk dan dibawanya pulang ke kapal. Nabi Nuh pun berkesimpulan air bah sudah
mulai surut. Kabar itu pun disampaikan kepada seluruh penumpang kapal.
Atas dasar fakta tersebut, Nabi Nuh
dianggap sebagai pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) pertama kali di
dunia. Kapal Nabi Nuh pun disebut sebagai kantor berita pertama di dunia.
MASA PERKEMBANGANNYA
Kegiatan penyebaran informasi
melalui tulis-menulis makin meluas pada masa peradaban Mesir, ketika
masyarakatnya menemukan tehnik pembuatan kertas dari serat tumbuhan yang
bernama “Phapyrus”.
Pada abad 8 M., tepatnya tahun 911
M, di Cina muncul surat kabar cetak pertama dengan nama “King Pau” atau
Tching-pao, artinya “Kabar dari Istana”. Tahun 1351 M, Kaisar Quang Soo
mengedarkan surat kabar itu secara teratur seminggu sekali.
Penyebaran informasi tertulis maju
sangat pesat sejak mesin cetak ditemukan oleh Johan Guttenberg pada 1450. Koran
cetakan yang berbentuk seperti sekarang ini muncul pertama kalinya pada 1457 di
Nurenberg, Jerman. Salah satu peristiwa besar yang pertama kali diberitakan
secara luas di suratkabar adalah pengumuman hasil ekspedisi Christoper Columbus
ke Benua Amerika pada 1493.
Pelopor surat kabar sebagai media
berita pertama yang bernama “Gazetta” lahir di Venesia, Italia, tahun 1536 M.
Saat itu Republik Venesia sedang perang melawan Sultan Sulaiman. Pada awalnya
surat kabar ini ditulis tangan dan para pedagang penukar uang di Rialto
menulisnya dan menjualnya dengan murah, tapi kemudian surat kabar ini dicetak.
Surat kabar cetak yang pertama kali
terbit teratur setiap hari adalah Oxford Gazzete di Inggris tahun 1665 M. Surat
kabar ini kemudian berganti nama menjadi London Gazzette dan ketika Henry
Muddiman menjadi editornya untuk pertama sekali dia telah menggunakan istilah
“Newspaper”.
Di Amerika Serikat ilmu
persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M dengan istilah
“Journalism”. Saat itu terbit surat kabar dalam bentuk yang modern, Publick
Occurences Both Foreign and Domestick, di Boston yang dimotori oleh Benjamin
Harris.
Pada Abad ke-17, di Inggris kaum
bangsawan umumnya memiliki penulis-penulis yang membuat berita untuk
kepentingan sang bangsawan. Para penulis itu membutuhkan suplai berita.
Organisasi pemasok berita (sindikat wartawan atau penulis) bermunculan bersama
maraknya jumlah koran yang diterbitkan. Pada saat yang sama koran-koran eksperimental,
yang bukan berasal dari kaum bangsawan, mulai pula diterbitkan pada Abad ke-17
itu, terutama di Prancis.
Pada abad ke-17 pula, John Milton
memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat di Inggris yang terkenal
dengan Areopagitica, A Defence of Unlicenced Printing. Sejak saat itu
jurnalistik bukan saja menyiarkan berita (to inform), tetapi juga mempengaruhi
pemerintah dan masyarakat (to influence).
Di Universitas Bazel, Swiss
jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara akademis oleh Karl Bucher (1847 –
1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama Zeitungskunde tahun 1884 M.
Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of Journalism di Columbia University
pada tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya bernama Joseph Pulitzer (1847 –
1911).
Pada Abad ke-18, jurnalisme lebih
merupakan bisnis dan alat politik ketimbang sebuah profesi. Komentar-komentar
tentang politik, misalnya, sudah bermunculan pada masa ini. Demikian pula
ketrampilan desain/perwajahan mulai berkembang dengan kian majunya teknik
percetakan.
Pada abad ini juga perkembangan
jurnalisme mulai diwarnai perjuangan panjang kebebasan pers antara wartawan dan
penguasa. Pers Amerika dan Eropa berhasil menyingkirkan batu-batu sandungan
sensorsip pada akhir Abad ke-18 dan memasuki era jurnalisme modern seperti yang
kita kenal sekarang.
Perceraian antara jurnalisme dan
politik terjadi pada sekitar 1825-an, sehingga wajah jurnalisme sendiri menjadi
lebih jelas: independen dan berwibawa. Sejumlah jurnalis yang muncul pada abad
itu bahkan lebih berpengaruh ketimbang tokoh-tokoh politik atau pemerintahan.
Jadilah jurnalisme sebagai bentuk profesi yang mandiri dan cabang bisnis baru.
Pada pertengahan 1800-an mulai
berkembang organisasi kantor berita yang berfungsi mengumpulkan berbagai berita
dan tulisan untuk didistribusikan ke berbagai penerbit surat kabar dan majalah.
Kantor berita pelopor yang masih beroperasi hingga kini antara lain Associated
Press (AS), Reuters (Inggris), dan Agence-France Presse (Prancis).
Tahun 1800-an juga ditandai dengan
munculnya istilah Yellow Journalism (jurnalisme kuning), sebuah istilah untuk
“pertempuran headline” antara dua koran besar di Kota New York. Satu dimiliki
oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi dimiliki oleh William Randolph Hearst.
Ciri khas “jurnalisme kuning” adalah
pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan pemuatan judul utama yang
menarik perhatian publik. Tujuannya hanya satu: meningkatkan penjualan! Namun,
jurnalisme kuning tidak bertahan lama, seiring dengan munculnya kesadaran
jurnalisme sebagai profesi.
Sebagai catatan, surat kabar
generasi pertama di AS awalnya memang partisan, serta dengan mudah menyerang
politisi dan presiden, tanpa pemberitaan yang objektif dan berimbang. Namun,
para wartawannya kemudian memiliki kesadaran bahwa berita yang mereka tulis
untuk publik haruslah memiliki pertanggungjawaban sosial.
Kesadaran akan jurnalisme yang
profesional mendorong para wartawan untuk membentuk organisasi profesi mereka
sendiri. Organisasi profesi wartawan pertama kali didirikan di Inggris pada
1883, yang diikuti oleh wartawan di negara-negara lain pada masa berikutnya.
Kursus-kursus jurnalisme pun mulai banyak diselenggarakan di berbagai
universitas, yang kemudian melahirkan konsep-konsep seperti pemberitaan yang
tidak bias dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagai standar kualitas bagi
jurnalisme profesional.
SEJARAH PENEMUAN KERTAS
Sejak awal manusia diciptakan Tuhan
dimuka bumi ini, manusia selalu berusaha untuk berkomunikasi dengan satu sama
lainnya.
Pada jaman primitif manusia telah menggunakan batu, tulang dan dedaunan untuk menyampaikan pesan tertulis . Tetapi semua media tersebut sulit untuk disimpan dan diangkut.
Lalu pada sekitar 2.200SM, orang Mesir kuno menemukan sejenis buluh yang disebut papyrus (lontar) yang ternyata dapat dipergunakan untuk media tulis yang lebih stabil dan dapat diandalkan.
Meskipun penggunaan papyrus menyebar jauh di luar Mesir, kulit binatang juga masih banyak digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan tertulis. Kulit sapi, kambing dan domba dicuci dan direntangkan pada bingkai dan dilapisi dengan kapur berbentuk pasta yang membantu menghilangkan lemak dan bulu. Sesudah kering, permukaan dihaluskan dengan menggosok memakai batu. Bahan yang sudah siap disebut perkamen dan digunakan secara luas diseluruh Eropa sejak 170 SM. Perkamen yang berkualitas tinggi sangat langka sehingga harus diperlakukan secara halus dan sering digunakan lebih dari sekali.
Media tulis awal ini memainkan peranan yang sangat penting dalam perkembangan kebudayaan manusia tetapi memang kurang praktis. Hal ini berubah sejak Tsai Lun pada th 250 SM memulai percobaannya dan memperkenalkan kertas ke dunia.
Pada jaman primitif manusia telah menggunakan batu, tulang dan dedaunan untuk menyampaikan pesan tertulis . Tetapi semua media tersebut sulit untuk disimpan dan diangkut.
Lalu pada sekitar 2.200SM, orang Mesir kuno menemukan sejenis buluh yang disebut papyrus (lontar) yang ternyata dapat dipergunakan untuk media tulis yang lebih stabil dan dapat diandalkan.
Meskipun penggunaan papyrus menyebar jauh di luar Mesir, kulit binatang juga masih banyak digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan tertulis. Kulit sapi, kambing dan domba dicuci dan direntangkan pada bingkai dan dilapisi dengan kapur berbentuk pasta yang membantu menghilangkan lemak dan bulu. Sesudah kering, permukaan dihaluskan dengan menggosok memakai batu. Bahan yang sudah siap disebut perkamen dan digunakan secara luas diseluruh Eropa sejak 170 SM. Perkamen yang berkualitas tinggi sangat langka sehingga harus diperlakukan secara halus dan sering digunakan lebih dari sekali.
Media tulis awal ini memainkan peranan yang sangat penting dalam perkembangan kebudayaan manusia tetapi memang kurang praktis. Hal ini berubah sejak Tsai Lun pada th 250 SM memulai percobaannya dan memperkenalkan kertas ke dunia.
Pada abad kedua, pembuat kertas di
Cina menaruh potongan-potongan kulit kayu bagian dalam dari pohon Mulberry pada
suatu tempat yang kuat, sering juga berupa batu yang berlubang dan dicampur
dengan air. Dengan menggunakan palu atau alat pemukul lain, potongan kayu
tersebut ditumbuk sehingga menjadi bubur berserat yang dalam istilah sekarang
disebut sebagai 'pulp'. Pulp tersebut kemudian dituangkan kedalam cetakan yang
dangkal yang sebelumnya dilapisi dengan kain berbentuk seperti saringan.
Kemudian cetakan ini dijemur di bawah sinar matahari dan ketika air telah
menguap, maka hanya serat selulose yang tinggal dalam cetakan. Selanjutnya
kertas diangkat dari cetakan tersebut. Ini adalah bentuk yang primitif dari
kertas.
Pada abad ke 13, teknologi pembuatan kertas telah merambah Spanyol, tetapi masih membutuhkan 300 tahun lagi baru teknologi tersebut menyebar ke Perancis, Jerman, Itali dan Inggris dimana tercatat pabrik kertas Inggris yang pertama kali diketahui dibangun di Hertfordshire pada th 1490. Di negara-negara Eropa, saringan kawat yang halus menggantikan fungsi kain saringan dan serat linen menggantikan kulit kayu mulberry yang sangat sulit diperoleh di daratan Eropa.
Masalah yang dihadapi dalam pembuatan kertas secara manual ialah produktifitasnya yang sangat rendah dan memakan waktu yang lama. Pada abad pertengahan, semua buku dicopy dengan tangan, kebanyakan dilakukan di atas perkamen dan dilakukan oleh pemuka agama yang mempunyai kemampuan baca tulis di atas rakyat biasa. Mesin cetak yang diciptakan pada abad ke 15 membawa perubahan yang amat besar di bidang komunikasi. Untuk pertama kalinya, buku dapat diproduksi secara massal. Untuk itu dibutuhkan kertas murah dalam jumlah yang banyak menggantikan perkamen yang mahal.
Untuk memenuhi permintaan yang meningkat ini, pembuat kertas dituntut untuk mempercepat dan meningkatkan produksi, tetapi tidak terlihat adanya terobosan yang nyata sampai datangnya abad 17. Yaitu ketika Nicholas Luis Robert, dari Essones, Perancis mematenkan sebuah mesin yang menggunakan belt kawat mesh yang bergerak menggantikan fungsi cetakan kertas sehingga dapat dihasilkan kertas secara kontinyu dan dalam jumlah besar. Mesin yang dibangun oleh Robert kemudian dibawa ke Inggris dan dipatenkan di sana pada th 1801 oleh Henry Fourdrinier, yang namanya dipakai sampai sekarang.
Pada abad ke 13, teknologi pembuatan kertas telah merambah Spanyol, tetapi masih membutuhkan 300 tahun lagi baru teknologi tersebut menyebar ke Perancis, Jerman, Itali dan Inggris dimana tercatat pabrik kertas Inggris yang pertama kali diketahui dibangun di Hertfordshire pada th 1490. Di negara-negara Eropa, saringan kawat yang halus menggantikan fungsi kain saringan dan serat linen menggantikan kulit kayu mulberry yang sangat sulit diperoleh di daratan Eropa.
Masalah yang dihadapi dalam pembuatan kertas secara manual ialah produktifitasnya yang sangat rendah dan memakan waktu yang lama. Pada abad pertengahan, semua buku dicopy dengan tangan, kebanyakan dilakukan di atas perkamen dan dilakukan oleh pemuka agama yang mempunyai kemampuan baca tulis di atas rakyat biasa. Mesin cetak yang diciptakan pada abad ke 15 membawa perubahan yang amat besar di bidang komunikasi. Untuk pertama kalinya, buku dapat diproduksi secara massal. Untuk itu dibutuhkan kertas murah dalam jumlah yang banyak menggantikan perkamen yang mahal.
Untuk memenuhi permintaan yang meningkat ini, pembuat kertas dituntut untuk mempercepat dan meningkatkan produksi, tetapi tidak terlihat adanya terobosan yang nyata sampai datangnya abad 17. Yaitu ketika Nicholas Luis Robert, dari Essones, Perancis mematenkan sebuah mesin yang menggunakan belt kawat mesh yang bergerak menggantikan fungsi cetakan kertas sehingga dapat dihasilkan kertas secara kontinyu dan dalam jumlah besar. Mesin yang dibangun oleh Robert kemudian dibawa ke Inggris dan dipatenkan di sana pada th 1801 oleh Henry Fourdrinier, yang namanya dipakai sampai sekarang.
Mesin cetak adalah sebuah alat yang
digunakan untuk menggandakan tiruan dokomen menggunakan huruf cetak yang
bergerak. Mesin cetak pertama kali ditemukan oleh Johannes Guttenberg (Mainz,
Jerman).
Beberapa menyebutkan bahwa mesin
cetak adalah penemuan terbesar sepanjang 2.000 tahun terakhir. Mesin cetak
dapat mencetak tiruan dokumen lebih banyak hanya dalam beberapa minggu
ketimbang yang tadinya diproduksi dengan tangan seumur hidup. Mesin cetak
membuat masyarakat melek huruf dan memungkinkan adanya pendidikan.
Revolusi ilmu pengetahuan bergantung
kepada adanya banyak ilmuwan yang merekam dan menyebarkan penemuan mereka. Mesin
cetak memungkinkan para ilmuwan dan fisikawan untuk membaca dokumen penemuan
dari para penemu sebelumnya. Mesin cetak telah melakukan perubahan yang
signifikan dan fundamental dalam struktur, pemikiran, dan aktivitas keseharian
masyarakat.
SEJARAH PENEMUAN MESIN CETAK
Menyalin dokumen selalu menjadi
pekerjaan tangan (biasanya dikerjakan oleh para pendeta). Buku-buku diproduksi
dengan sulit dan perlahan serta harganya juga yang terlalu mahal. Lebih
buruknya lagi, salinan yang dibuat oleh tangan mudah melakukan kesalahan.
Setiap salinan baru bisa dipastikan adanya kesalahan.
Jawaban dari masalah tersebut adalah
cetakan. Cetakan dimulai di negri the great wall China. Pada tahun 1040,
Pi Sheng menemukan cetakan dengan menggunakan huruf-huruf cetak aslinya terbuat
dari semacam tanah. Pi Sheng adalah penemu sebenarnya dari huruf cetak yang
bisa bergerak. Lebih mengesankanya lagi, Barat hanya mampu membuat cetakan yang
mencetak dengan 26 huruf, sementara Pi Sheng telah membuat lebih dari 5.000
huruf China untuk cetakanya dari tanah.
Pada tahun 1403, King Htai Tjong
dari Korea menemukan huruf cetak logam (lebih kokoh dan lebih efisien daripada
cetakan dari tanah karya Pi Sheng). Tapi dia belum mengembangkan sistem cetak
menggunakan huruf cetakanya tersebut.
Bagaimana Mesin Cetak Ditemukan?
Belum jelas bagaimana Johannes
Guttenberg menemukan dan bagaimana dia merakit dari yang lain yang sudah ada.
Sejarawan percaya bahwa dia yang mengembangkan mesin cetak di dunia dan percaya
bahwa dia telah menemukan sebuah teknologi baru.
Guttenber lahir di kota yang indah,
Mainz, Jerman. Sekitar tahun 1440, mendekati usianya yang ke-50, dia mulai
mengembangkan idenya tentang mesin cetak. Dia menghabiskan waktu sampai satu
dekade ke depan untuk pemecahan tiga kebutuhan mendasar dari mesin cetak.
- Pertama, dia butuh alat penekan. Guttenberg membuat model alat penekan dari alat penekan berat yang biasa digunakan untuk memeras buah zaitun. Dia memodifikasi dan memperkuat kembali penekan sehingga dia dapat menekan ke bawh mendatar melewati keseluruhan halaman dengan mudah.
- Kedua, dia membutuhkan tinta. Para pendeta dan pelukis biasa menggunakan tinta air. Guttenberg berkonsultasi dengan pelukasi terkenal (termasuk Van Dyke) dan memutuskan menggunakan tinta berminyak yang biasa dipakai para pelukis dan warna pigmen baru yang telah diujicobakan para pelukis. Dengan tinta baru ini, Guttenberg mendapatkan garis-garis lebih tajam dan cetakan lebih tebal daripada tinta air.
- Terakhir, Guttenberg membutuhkan logam cetakan yang bergerak. Cetakan logam Guttenberg adalah sumbangan terbesar dalam dunia percetakan. Dia menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk melakukan percobaan dengan berbagai jenis logam, mencari logam yang mempunyai titik lebih rendah sehingga mampu mencetak huruf-huruf dengan mudah. Akan tetapi, logam ini juga harus kuat untuk bisa menahan tekanan dan menghasilkan ribuan cetakan. Pada tahun 1450, dia telah mantap memilih campuran timah denga perak dengan sedikit antimoni.
Sekitar tahun 1452, mesin cetak
Guttenberg sudah siap bekerja. Dia meminjam 800 Gulden untuk membeli kertas,
tinta pigem, minyak, timah, perak, antimoni, dan kebutuhan yang lain. Dia
memulai mencetak buku pertamanya yang berjudul The Great 42 Line Bibel
Guttenberg (42 merujuk pada nomor dari garis pada teks setiap halaman). Ketika
halaman pertama telah siap dan diuji cetak untuk memastikan bahwa semua
huruf-hurufnya telah genap dan tinta pada kekentalan yang benar, maka dia mulai
mencetak 300 salinan halaman tersebut.
Halaman pertama selesai. Guttenberg
kemudian membongkar 3.000 sampai 4.000 huruf dari halaman tersebut. Dia
membersihkan dan membuang huruf-huruf yang tidak sesuai ke dalam peti. Sekarang
dia telah siap kerja mencetak halaman kedua. Proses ini diulangi 1.282 kali dan
memakan tidak tahun untuk mencetak tiap halaman dari 300 salinan pada Bibelnya.
Salinan ini jika dikerjakan manual dengan tangan akan selesai selama 1.200
tahun, waktu yang sangat lama bukan.
Apa yang Terjadi Kemudian?
Bibel guttenberg tak hanya buku
pertama yang dicetak di Eropa dengan logam cetakan bergerak. Ini adalah cetakan
yang bagus sekali, sebaik yang diproduksi sekarang ini. Proses Guttenberg
bertahan, tidak tergantikan, dan tidak diperbaharui selama tiga setengah abad.
Ini adalah kesaksian dari kualitas kerja dari seorang Johannes Guttenberg.
Sebelum Guttenberg menyelesaikan
mencetak bibelnya, dia harus kehilangan tokonya dan seluruh peralatanya untuk
membayar hutan kepada Johannes Fust, sebab Guttenberg belum bisa membayar
hutang 2.000 gulden. Guttenberg meninggal pada tahun 1467. Dia seseorang yang
miskin, dilupakan, dan diabaikan oleh masyarakatnya. Penemuan Guttenberg
mengubah dunia yang harus akan informasi dan bacaan. 45 tahun kemudian, lebih
dari 500 penerbit menggunakan mesin cetak Guttenberg dan mencetak lebih dari 1
miliar buku.
Sekarang mesin cetak tangan digantikan
oleh komputer dan teknologi fotocopy. Penemuan teknologi Guttenberg kini
hanyalah kenangan luar biasa yang terpendam.
- Fakta Penemuan
Bibel Guttenberg yang asli masih
sangat bernilai dan merupakan buku yang ternilai di dunia. Bau-baru ini salinanya
yang masih bertahan terjual seharga 2 juta dollas US$.
SEJARAH TERBITNYA
KORAN TAHUN 1609
Surat kabar
yang terbit secara teratur pertama kali muncul di Jerman pada tahun 1609
bernama Aviso di Wolfenbuttel dan Relation di Strasbourg. Setelah itu bermunculan surat-surat kabar di
berbagai negara semisal Belanda, Perancis, Inggris, dan Italia. Sedangkan surat
kabar yang menjadi pelopor terbit secara harian adalah Einkommende Zeitung di
Lepizig, Jerman.
Persuratkabaran di tanah air sendiri
mengalami perkembangan yang cukup dinamis. Sejarah pers di Indonesia
dikategorikan dalam dua periode. Periode pertama dimulai sejak kemunculan Surat
Kabar hingga tahun 1854. Sedangkan babak kedua dari tahun 1854 hingga tahun
1902 tepatnya pada Hari Kebangkitan
Nasional.
Pada periode
pertama yang dimulai sejak tahun 1744 disebut dengan Babak Putih. Sebutan ini
muncul karena saat itu surat kabar hanya dimiliki oleh kaum kulit putih
penjajah dan tidak ada tempat untuk pribumi karena berbahasa Belanda, pembaca
orang Belanda, dan mengenai kehidupan orang Eropa.
Pers zaman penjajahan Belanda yang
sangat terbatas dan hanya menjadi penegas hegemoni kolonialisme penjajahan
Belanda atas Indonesia. Suatu media massa, yang dapat membuka kemungkinan untuk mengeluarkan pendapat umum
terhadap kebijaksanaan pemerintah, dalam hal ini pemerintahan Hindia Belanda,
tidak mendapatkan izin untuk terbit.
Pada era ini surat kabar pertama yang
terbit ialah Bataviasche Novelles pada tahun 1744. Namun, surat kabar ini
hanya bertahan selama dua tahun. Setelah itu bermunculan surat-surat kabar lain
yang pro pemerintah seperti Het Vendu Nieuws,Bataviasche Kolonial Courant,
dan Javasche Courant.
Periode kedua
ditandai dengan adanya peraturan kelonggaran pada kegiatan pers. Sejak saat itu
bermunculan surat kabar berbahasa Melayu dan Tionghoa yang bermunculan
mematahkan dominasi surat kabar dari Eropa. Kemunculan itu diikuti dengan
munculnya wartawan yang beretnis tionghoa dan peranakannya.
Pada periode kedua ini dapat dibagi
dalam tiga babak secara umumnya.
1.
Antara tahun
1854-1860 mulai bermunculan surat kabar berbahasa melayu ditengah-tengah
hegemoni surat kabar berbahasa Belanda.
2.
Antara tahun
1860-1880 sudah banyak pers berbahasa melayu dan pra Indonesia yang bermunculan
dan mulai memenuhi pasar. Namun, pelopor atau pemimpin pers berbahasa melayu
ini ialah peranakan Eropa.
3. Antara tahun
1881 sampai kebangkitan nasional merupakan periode dimana seluruh kegiatan pers
sudah didominasi oleh pers melayu. Pekerja pers, terutama para redakturnya
tidak lagi peranakan Eropa, tetapi mulai banyak Pekerja pers, terutama para
redakturnya tidak lagi peranakan Eropa, tetapi mulai banyak orang peranakan
Tionghoa dan Indonesia(pribumi).
Pada periode
ini surat-surat kabar Melayu maupun Tionghoa bertentangan dengan surat kabar
Eropa. Pada umunya pers Eropa membela kepentingan kolonial dan memandang rendah
golongan Tionghoa apalagi pribumi. Sedangakan surat kabar seperti Li Po
(1901), Pewarta Soerabaja (1902), dan Perniagaan (1903) lebih
memperlihatkan nasionalisme Tionghoa dan membela kepentingan Tionghoa.
Menurut E.F.E Douwes Dekker pers
periode ini memiliki ciri-ciri lingkungan pembacanya yang menjadi sasaran.
Pertama, surat kabar yang berisi berita yang hanya diperuntukkan kalangan
keturunan Tionghoa. Surat kabar jenis seperti ini banyak terbit di kota-kota
Jakarta, Surabaya, dan beberapa kali terbit di Semarang.
Lalu yang kedua adalah surat kabar yang
dibiayai dan dikerjakan oleh orang-orang tionghoa, namun pembacanya kalangan
pribumi. Ketiga, adalah surat kabar yang dibaca oleh kedua golongan seperti Bintang
Soerabaya (1861) yang juga merupakan koran tertua.
Pada zaman
Hindia Belanda terdapat peraturan pers yang dimunculkan pada 1856 yaitu Reglement
op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie yang kemudian diperbaiki pada tahun
1906. Perbaikan yang dilakukan merubah sifat preventif menjadi pengawasan
represif. Perubahan ini dikarenakan tekanan dari unsur demokratis yang merasa
repot dengan sifat peraturan yang lama.
Lalu pada tahun 1931 pemerintah
kolonial Belanda melahirkan apa yang selanjutnya disebut Persbreidel
Ordonantie yang menerangkan bahwa Gubernur Jenderal diberi hak untuk
melarang terbit penerbitan tertentu yang dinilainya bisa “mengganggu ketertiban
umum.”
Lalu dikeluarkan pula Haatzaai
Artikelen yang berisi ancaman hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan
permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap pemerintahan Nederland atau
Hindia Belanda serta kelompok penduduk di Hindia Belanda. Haatzaai Artikelen ada lebih dulu dari Persbreidel Ordonantie
dan bersamaan sengan berlakunya Wetboek van Strafecht van Nedherlands-Indie.
Setelah masa Hindia Belanda berakhir
Tanah Air yang dikuasai oleh Jepang. Selama masa pendudukan militer Jepang semua
pers dibawah pengawasan pemerintah Jepang dan digunakan untuk propaganda perang
antara Jepang melawan sekutu
Menurut Koichi Kishi ada lima surat kabar berbahasa Jepang, yaitu Jawa
Shinbun di Jawa, Borneo Shinbun di Kalimantan, Sumatra Shinbun
di Sumatra, dan Ceram Shinbun di Seram. Selain itu ada delapan surat
kabar yang berbahasa Indonesia. Asia Raya(1942-1945) dan Pembangoen di Jakarta. Lalu Tjahaja (1942-1945) di Bandung,
Yogyakarta juga mempunyai surat kabar Sinar
Matahari (1942-1945), Sinar Baroe (1942-1945) di Semarang, dan
Surabaya memiliki Pewarta Perniagaan(1942-1945). Selama penajajahan
Jepang larangan penggunaan bahasa Belanda memberikan keuntungan berupa
meratanya penggunaan Bahasa Indonesia ke seluruh pelosok. Pemerintah Jepang
memunculkan peraturan pers bahwa semua jenis barang cetakan harus memiliki izin
publikasi atau izin terbit. Selain itu semua penerbitan yang memusuhi Jepang
dilarang untuk meneruskan penerbitannya. Banyak pihak terkena imbas dengan
diterapkannya peraturan ini. Semua surat kabar Belanda, surat kabar Indonesia
yang anti Jepang, dan surat kabar yang membahas agresi Jepang ke Tiongkok
dilarang untuk melanjutkan produksi.
Selain itu
adapula peraturan mengenai sensor
preventif, bahwa semua barang cetakan, sebelum diedarkan, harus melewati sensor
Balatentara Jepang. Selain itu tidak diperbolehkan semua produk dikirim ke luar
wilayah penjajahan Jepang dan begitu pula sebaliknya.
Indonesia pun mengikuti cara Jepang
dalam memfungsikan surat kabar. Edi Soeradi mempropaganda masyarakat agar
datang pada Rapat Raksasa Ikada untuk mendengarkan pidato Bung Karno pada 19
September 1945.Dalam perjalanannya, Berita Indonesia (BI) berulang kali
mengalami pembredelan dimana selama pembredelan tersebut para pegawai kemudian
ditampung oleh surat kabar Merdeka yang didirikan oleh B.M. Diah. Surat kabar
perjuangan lainnya adalah Harian Rakyat dengan pemimpin redaksi Samsudin Sutan
Makmr dan Rinto Alwi dimana surat kabar tersebut menampilkan “pojok” dan “Bang
Golok” sebagai artikel. Surat kabar lainnya yan terbit pada masa ini adalah
Soeara Indonesia, Pedoman Harian yang berubah menjadi Soeara Merdeka (Bandung),
Kedaulatan Rakyat (Bukittinggi), Demokrasi (Padang) dan Oetoesan Soematra
(Padang).
Setelah
Indonesia merdeka muncul era baru lagi dalam persurat kabaran di Indonesia.
Langkah pertama yang dilakukan pemerintah ialah menghapuskan asas Presbrediel
Ordonantie karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 tepatnya pasal
33 yang menjamin kebebasan berpendapat seseorang.Setelah itu Kepala Staff
Angkatan Darat pada tanggal 14 September 1956 mengeluarkan peraturan. Peraturan
tersebut menegaskan larangan untuk mencetak, menerbitkan, dan menyebarkan
porduk jurnalistik yang mengandung kecaman, prasangka, atau penghinaan terhadap
Presiden dan Wakil Presiden dan suatu kekuasaan. Selain itu dilarang pula untuk
membuat tulisan atau pemberitaan yang dapat membuat keonaran dan kekacauan pada
masyarakat. Ketentuan tersebut sangat mirip dengan isi Haatzaai Artikelen. Maka
ketentuan ini mendapatkan protes keras
dari surat-surat kabar dan PWI mulai dari Pusat hingga ke Cabang. PWI cabang
Besuki bahkan mengajak untuk mem-black out semua pemberitaan ketentaraan
apabila peraturan ini tidak dicabut.Setelah dikeluarkannya dekrit presiden
tanggal 5 Juli 1959 oleh presiden Soekarno, terdapat larangan terhadap kegiatan
politik termasuk pers. Persyaratan untuk mendapat Surat Izin Terbit dan Surat
Izin Cetak diperketat.
Situasi ini kemudian dimanfaatkan oleh
Partai Komunis Indonesia untuk melakukan slowdown atau mogok secara halus oleh
para buruh dan pegawai surat kabar. Karyawan pada bagian setting melambatkan
pekerjaannya yang membuat banyak kolom surat kabar tidak terisi menjelang batas
waktu cetak (deadline). Pada akhirnya kolom tersebut diisi iklan gratis. Hal
ini menimpa surat kabar Soerabaja Post dan Harian Pedoman di Jakarta. Pada
periode ini banyak terjadi kasus antara surat kabar pro PKI dan anti PKI.
Pada awal masa
kepemimpinan pemerintahan Orde Baru. Pemerintah mengumandangkan bahwa akan
membuang jauh-jauh praktik demokrasi terpimpin dan mengganti demokrasi
Pancasila. Pernyataan ini membuat semua tokoh bangsa Indonesia menyambut dengan
antusias sehingga lahirlah istilah pers Pancasila.Pemerintah Orde Baru sangat
menekankan pentingnya pemahaman tentang pers pancasila. Dalam rumusan Sidang
Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah pers Indonesia
dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkab lakunya didasarkan
nilai-nilai pancasila dan UUD’45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat,
yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai
penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan
kontrol sosial yang konstruktif.
Masa “bulan
madu” antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan keluarnya
Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang dijamin tidak ada
sensor dan pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak
untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin
terbit.
Kemesraan ini
hanya berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak terjadinya “Peristiwa
Malari” (Peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back
(kembali seperti zaman Orde Lama).
Pada periode
Orde Baru, surat kabar yang dipaksa untuk berafiliasi kembali mendapatkan
pribadi awalnya, seperti Kedaulatan Rakyat yang pada zaman orde lama harus
berganti menjadi Dwikora. Hal ini juga terjadi pada Pikiran Rakyat di Bandung.
Bahkan pers kampuspun mulai aktif kembali. Namun dibalik itu semua, pengawasan
dan pengekangan pada pers terutama dalam hal konten tetap diberlakukan.
Pemberitaan
yang dianggap merugikan pemerintah harus dibredel dan dihukum dengan dilakukan
pencabutan SIUP seperti yang terjadi pada Sinar Harapan, tabloid Monitor dan
Detik serta majalah Tempo dan Editor. Pers lagi-lagi dibayangi dalam kekuasaan
pemerintah yang cenderung memborgol kebebasan pers dalam membuat berita serta
menghilangkan fungsi pers sebagai kontrol sosial terhadap kinerja pemerintah. Pembredalanpun
marak pada periode ini.
Pada tanggal 21
Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan reformasi
bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim
orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia
tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah
surat izin terbit.
Sejak masa
reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini
sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan
rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers
atau koran, majalah, atau tabloid baru. Di Era reformasi pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira
dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan
undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok
Pers (UUPP).
Dalam
Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak
asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung
perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan
penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam
pasal 4 ayat 2.
Pada masa
reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional
melaksanakan peranan sebagai berikut:
a.
Memenuhi hak
masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
b.
Menegakkan
nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi
manusia, serta menghormati kebhinekaan.
c.
Mengembangkan
pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.
d.
Melakukan
pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum.
e.
Memperjuangkan
keadilan dan kebenaran.
Dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak
tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara
menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan
dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai mnejadi saksi di pengadilan.
Berbagai
peristiwa dan dinamika dalam persuratkabaran Indonesia yang di setiap periode
mengalami perubahan peraturan dan kebijakan. Pemerintah yang berkuasa saat itu
sangat memegang bagaimana kelayakan sebuah pemberitaan ditentukan.
Pembredelan
berita kerap kali terjadi bahkan hingga penutupan sebuah surat kabar kerap
terjadi dari zaman Kolonial Belanda hingga Orde Baru. Ketika masa reformasi
pecah, angin kebebasan mulai berpihak pada kesempatan untuk berbicara dan
berekspresi lebih banyak.
Banyak
perusahaan media massa bermunculan di setiap daerah. Khususnya media cetak atau
koran yang memperjuangkan ideologi masing-masing perusahaan. Tidak ada lagi
peraturan-peraturan pemerintah yang mempengaruhi ideologi dan hasil sebuah
berita.
Ada beberapa surat kabar yang muncul khususnya di Kota
Solo seperti Solopos, Joglosemar dan harian lainnya yang turut andil
memberitakan isu-isu yang hangat di Kota Solo. Di era reformasi ini pemberitaan
yang ada tidak lagi terkekang dengan kepentingan politik dan kepentingan
pemerintah.
SEJARAH JURNALISTIK INDONESIA
Perkembangan sejarah Jurnalistik di
Indonesia telah dimulai sejak zaman pemerintahan belanda.pada zaman
pemerintahan belanda,dibentuk persatuan jurnalistik yang dikenal dengan nama Pers
Kolonial,organisasi ini di bentuk oleh para colonial dan terus berkembang
hingga abad ke 20.pada masa itu terbitlah surat-surat kabar yang ditulis guna
membela kaum kolonialis.salah satu surat kabar yang beredar saat itu yakni
Bataviasche nouvellesd.disamping itu orang-orang keturunan thionghoa
juga menggunakan surat kabar sebagai alat pemersatu keturunan thionghoa
yang berada di Indonesia.surat-surat kabar yang terbit pada era kolonial
ini menggunakan bahasa Belanda,Cina dan Jawa.
Di zaman pergerakan surat-surat
kabar juga diterbitkan sebagai alat perjuangan seperti.perkembangan di dunia
jurnalistik saat itu menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam memperbaiki nasib
dan kedudukan bangsa.harian yang terbit pada zaman itu antara lain harian
Sedio Tomo yang adalah kelanjutan dari Budi Oetomo di yogjakarta tahun
1920,harian Darmo Kondo di solo,harian utusan india yang terbit di Surabaya dan
masih banyak lagi.
Beralih ke masa penjajahan
Jepang,pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis namun pada masa
ini,surat izin penerbitan mulai diberlakukan.surat-surat kabar yang diterbitkan
dalam bahasa Belanda banyak yang dimusnahkan.penerbitan surat-surat kabar
pun mulai ketat dibawa pengawasan Jepang.surat-surat kabar yang terbit pada
masa ini antara lain Asia raya(Jakarta),Sinar Baru(Semarang),Suara
Asia(Surabaya),Tjahaya(Bandung).
Walaupun pengawasan jepang yang
begitu ketat dan mengekang namun ada pelajaran-pelajaran berharga untuk dunia
jurnalistik Indonesia.pengalaman karyawan-karyawan pers di Indonesia
bertambah,Rakyat semakin kritis dalam menanggapi informasi-informasi yang
beredar,meluasnya penggunaan bahasa Indonesia.
Namun di era Revolusi(1945-1949)
situasipun berubah, perang perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa
Indonesia dilakukan untuk menentang Belanda masuk lagi ke Indonesia.hal ini
berpengaruh pada perkembangan Jurnalistik Indonesia.pers dibagi kedalam 2
kelompok yakni pers Nica(Belanda) dan pers Republik (Indonesia)
Pada masa orde lama,kebebasan pers
mengalami penekanan karena berkaitan vdengan keputusan yang tercantum pada UUD
1945 yang menjamin kebebasan berpikir,menyatakan pendapat dan memperoleh
penghasilan.hal ini diawalai dengan adanya penegasan dari muda malady yang
menyartakan bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat-surat
kabar,mmajalah-majalah dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan
yang diperlukan dalam usaha menerbitakan pers nasional”.
Pada era demokrasi pancasila Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya
pemahaman tentang pers pancasila. Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers
(Desember 1984), pers pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang
orientasi, sikap dan tingkab lakunya didasarkan nilai-nilai pancasila dan
UUD’45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan
bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang
benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang
konstruktif.
Pers dimata negara
memiliki peranan sebagai pendorong kesatuan nasional dan pembangunan sambil
menrapkan system perijinan. Pemerintah juga tidak menjamin dengn tegas
kebebasan pers di Indoensia, hal ini terbukti dengan kontrol ketat pemerintah
dengan mendirikan dewan pers dan PWI
Dalam pemerintahan Orde Baru ada tiga macam cara yang digunakan wartawan untuk menghindari peringatan dan atau pembredeilan dari pemrintah, yakni eufimisme, jurnalisme rekaman dan jurnalisme amplop.
Teknik eufeumisme adalah teknik mengungkapkan fakta secara tersirat bukan tersurat. Fakta dalam sebuah berita berbahaya oleh karena itu ditup oleh pers dengan menggunakan ungkapan yang sopan.
Jurnalisme rekaman adalah budaya wartawan untuk menyalin berita-berita setepat-tepatnya dari sumber berita tanpa mengolahnya sehingga membuat sebagian besar karyawan per mals.
Jurnalisme amplop adalah budaya pemberian amplop bagi wartawan oleh sumber berita. Meskipun pemberian ini dikecam dan berusah dihindari namun pada prakteknya tetap saja terjadi.
Dalam pemerintahan Orde Baru ada tiga macam cara yang digunakan wartawan untuk menghindari peringatan dan atau pembredeilan dari pemrintah, yakni eufimisme, jurnalisme rekaman dan jurnalisme amplop.
Teknik eufeumisme adalah teknik mengungkapkan fakta secara tersirat bukan tersurat. Fakta dalam sebuah berita berbahaya oleh karena itu ditup oleh pers dengan menggunakan ungkapan yang sopan.
Jurnalisme rekaman adalah budaya wartawan untuk menyalin berita-berita setepat-tepatnya dari sumber berita tanpa mengolahnya sehingga membuat sebagian besar karyawan per mals.
Jurnalisme amplop adalah budaya pemberian amplop bagi wartawan oleh sumber berita. Meskipun pemberian ini dikecam dan berusah dihindari namun pada prakteknya tetap saja terjadi.
Source:
Difha Renytha Usman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar